Aku Seorang yang Takut?
By : Rizki Mulyadin
Rasa
takut secara umum dipersepsikan oleh masyarakat sebagai suatu keadaan negatif
yang membuat seseorang membayangkan penderitaan. Banyak orang menghindari rasa
takut dan berusaha mendekati kesenangan dengan melakukan hal-hal yang
mengantarkan pada situasi senang tersebut. Rasa takut merupakan keadaan untuk
menyesuaikan diri dengan tekanan eksternal maupun internal, ini merupakan salah
satu mekanisme pertahanan diri manusia untuk mengimbangi ego dan superego.
Ketika
individu tidak bisa mengontrol mekanisme pertahanan diri ini, maka berkemungkinan
akan menimbulkan keadaan misalnya ketakutan secara berlebihan yang sering
dikenal sebagai phobia. Ibnu Sina (Irawan, 2015) mengatakan bahwa keadaan atau kecenderungan seseorang pada masa lalu (melankolia)
adalah sumber dari curiga dan phobia.
Kecenderungan masa lalu (takut) secara berlebihan kemudian menjadi mania (kecanduan
secara berlebihan). Dari teori Ibnu Sina ini bisa dipahami bahwa phobia berasal dari pembelajaran dari
orang terdekat. Phobia bukanlah emosi
bawaan atau diwariskan secara genetis, artinya seorang anak terlahir dari rasa
bebas dan kosong (tabula rasa) dari phobia.
Seorang anak menjadi phobia karena
mendapatkan pembelajaran baik secara pengalaman maupun intelektual dari
lingkungannya yang kemudian terekam dalam kognitifnya.
Dalam
ilmu kognitif, seorang menjadi takut karena dia sudah mengetahui bahwa sesuatu
itu bersifat membahayakan, ini merupakan salah dampak dari pembelajaran tadi,
bahkan cenderung menggiring persepsi anak-anak untuk takut pada sesuatu yang
bahkan tidak harus ditakuti. Tatkala kita pernah melihat film atau membaca
kisah Tarzan hidup di hutan dengan binatang buas, di mana rasa
takutnya dengan binatang tersebut? Ini menunjukkan bahwa sumber ketakutan kita
banyak berasal dari orang-orang di sekitar kita. Lalu bagaimana dengan anak
yang tumbuh tanpa adanya rasa phobia
tetapi phobia-nya tumbuh pada saat
terjadinya sesuatu (misalnya: setelah kecelakaan pesawat), apakah ini dari
pembelajaran? Phobia seperti ini bisa penulis katakan sebagai melankolia dan
mania dalam pemikiran Ibnu Sina.
Sesuai dengan
bagian awal dari tulisan ini, penulis ingin memberikan pemahaman lain terhadap
rasa takut, bahwa takut itu sesuatu yang baik sebagai mekanisme pertahanan diri, yang salah itu
ketakutan secara berlebihan. Rasa takut timbul karena adanya pembelajaran, mereka
memberikan gambaran penderitaan ketika mendekati objek tertentu sehingga
menjadi rasa takut. Orang-orang di sekitar kita hanya membentuk dan mengarahkan
kita pada kesenangan dan tidak memperkenalkan pada penderitaan. Bagaimana
seseorang bisa membedakan yang putih jika tidak mengetahui yang hitam, artinya
keduanya memiliki porsi yang sama antara positif dan negatif dalam kehidupan.
Hampir
semua karya dalam seni dan filsafat lahir dari imajinasi penderitaan (negatif).
Epos Ramayana dan Mahabarata merupakan cerita yang menggambarkan penderitaan. Drama
Romeo dan Juliet ingin mengkomunikasikan penderitaan dua remaja. Dalam riwayat
hidup Budha Gautama yang dihadapkan dalam relief pada dinding candi Borobudur kita melihat
juga adanya penderitaan (Sukidin dkk, 2003). Rasa takut akan penderitaan juga
dapat mengaktifkan imajinasi kita untuk menciptakan sebuah karya.
Kemudian
rasa takut juga dapat menumbuhkan rasa kasih sayang juga cinta. Paul Ekman
(Sarwono, 2014), mengemukakan bahwa ada enam bentuk emosi dasar yaitu:
Emosi
dasar Emosi
lain
- Marah Penerimaan
- Takut Kasih
Sayang
- Sedih Agresi
- Bahagia Tak
Pasti
- Jijik Terganggu
- Minat Tak
Peduli
Seseorang belajar karena dia takut akan
kebodohan sehingga mendorongnya untuk cinta membaca. Seorang remaja takut
pasangannya pergi maka dia harus menjaganya. Persepsi sosial, cinta sesuatu
yang menyenangkan, manusia tidak selalu merasa puas terhadap sesuatu yang
menyenangkan, jadi cinta dapat berkhianat karena sifatnya menyenangkan. Lalu
takut merupakan sesuatu yang tidak
menyenangkan, tidak ada manusia yang ingin memperluas ketidaksenangan sehingga
takut bersifat statis. Jadi, takut adalah dasar dari cinta dan cinta
adalah dasar dari berkhianat.
Dalam
beberapa hal takut lebih bermanfaat dibandingkan cinta. Tulisan ini hanya
pandangan yang mungkin bisa dianggap keliru dari penulis, oleh karena itu
penulis berharap ada kritikan dari pembaca serta saran yang membangun.
No comments:
Post a Comment